Uncategorized

Sahabat Pena

international-pen-pals-01-pen

Siang tadi, saya menemukan buku berjudul Tata Cara Surat Menyurat yang Baik, buku terbitan lama, bersampul kuning pudar semi krem, kertasnya cokelat oleh usia. (Mohon maaf, saya lupa nama pengarang dan penerbitnya). Bukunya cukup menarik ada beberapa cara menekuk surat yang ternyata dibedakan, gaya Baron Inggris, gaya bangsawan Perancis, lalu paragraf gaya Amerika, paragraf gaya Indonesia, dan masih banyak lagi. Setelah melakukan sight reading, tiba-tiba tercetus ini.

Kawan-kawan ada yang masih akrab dengan istilah ‘sahabat pena’ atau sapen?

Bukan daerah Sapen di Yogyakarta lho, ya.

Sahabat pena, atau istilah lainnya teman berkorespondensi, atau istilah amerikanya ‘pen pal’, adalah sebuah cara hangat untuk bersahabat dengan saling berkirim surat.

Kegiatan ini sukses membuat pak pos kelimpungan saking sibuknya mengedarkan surat-surat dari remaja-remaja putri–atau putra, tapi kebanyakan putri–yang saling curhat dan cekikikan lewat surat.

Tidak, tidak, listrik saja masih jarang, apalagi komputer. Apalagi email, mungkin baru ‘ngetrend’ dikalangan remaja amerika.

Dulu, duluuuu sekali, tiga hingga dua puluh tahun lalu, sahabat pena pernah jadi topik paling hangat diantara remaja-remaja usia sekolah, ya seperti kita-kita ini. Mungkin percakapannya, kira-kira seperti ini.

‘Kemarin aku baru dapat surat dari temanku di Sumatra, lho!’ ujar seorang siswi berkepang dengan girang, menunjukkan amplop berhias perangko bergambar batu Malin Kundang.

Lalu temannya membalas, ‘Enak, ya, suratku minggu lalu belum dibalas sampai sekarang.’

Temannya yang satu lagi menyahut, “Aku, sih, minggu depan akan bertemu dengan sapenku Grobogan. Dia sudah mengirimkan foto, aku juga. Kami janjian pukul 8 pagi di stasiun Grobogan, sekalian menengok nenek.”

Menurut informasi yang digali dari Ibuk dan searching dari internet, biasanya surat yang dihasilkan dari kegiatan bersapen ini bertumpuk-tumpuk banyaknya, disembunyikan dibawah kolong tempat tidur, atau dibagian paling pojok dari lemari. Kegiatan ini tak lepas dari berburu kertas surat paling bagus motifnya, paling cling kertasnya, paling harum, ditulisi dengan tulisan latin yang paling bagus, dilipat dengan hati-hati menurut Tata Cara Menulis Surat, diselipkan dalam celah kotak surat dengan harapan dapat sampai secepat mungkin. Setelah itu bermalam-malam tak tidur menanti balasan, dan setiap pulang sekolah yang dicari pasti ‘Ibuk! Ada surat, tidak?’

Perangkonya dilepas, untuk dikoleksi. Terkadang ada satu dua foto yang dikirim, tak lupa amplop depan ditulisi ‘jangan dilipat’.

Dan darimana mereka mendapatkan teman untuk bersapen? Tentu saja dari majalah. HP hanya untuk konsumsi kelas menengah ke atas, majalah adalah pilihan bagi mereka yang tidak ingin ketinggalan informasi. Majalah pun tidak mau ketinggalan, mereka menyediakan wadah bagi mereka yang ingin bersapen seluas-luasnya.

Salah satunya, ini nih.

Ini dari Majalah Bobo:

sahabat bobo

Ini dari majalah MOP (yang saat ini sering diberikan pada siswa ketika MOS):

sahabat mop

Banyak dari mereka yang kemudian bersua di dunia nyata, lalu menjalin pertemanan dengan akrab, beberapa diantaranya malah menjadi sedekat saudara. Namun tidak sedikit juga yang kandas ditengah jalan, entah karena kesibukan baru atau pindah alamat yang tidak dikabari.

Kegiatan ini masih cukup eksis dikalangan pelajar sampai kira-kira hingga saya SD, sekitar tahun 2008-2010. Sewaktu SD, saya berlangganan majalah Bobo, dan dalam rubrik ‘Apa Kabar, Bo?’, selalu tertulis diakhir surat, ‘Bo, tolong carikan saya sapen, ya.’ Beberapa penyurat menuliskan dengan spesifik dengan membatasi umur dan gender, namun tak jarang hanya mencantumkan ‘sapen’ saja, tanpa kriteria. Sebagai anak SD yang barusan diajari tentang cara menulis surat pribadi dalam pelajaran bahasa Indonesia, siapa yang tidak tertarik untuk turut berkirim surat? Membayangkan akan punya sapen dari Balikpapan maupun Gorontalo sudah cukup membuat angan melambung bahagia. Namun entah kenapa, karena satu dan lain hal, mengirim surat itu tidak pernah saya realisasikan.

Seperti yang saya katakan tadi, sapen eksis hingga tahun 2010-an. Saya masih ingat ketika awal-awal berlangganan majalah Bobo, tahun 2005, dimana hampir seluruh surat mencantumkan keinginan bersapen. Lalu, saya beranjak besar, teknologi merangkak maju, mulailah ada tambahan rubrik ‘SMS Bobo’ yang diisi oleh anak-anak yang lebih suka berkirim SMS alih-alih berkirim surat. Yang namanya SMS, isinya pun pendek-pendek saja. minat bersapen semakin jarang. Lalu puncaknya, saat facebook dikenalkan Mark Zuckerberg dan mulai mendunia, bahkan anak-anak SD pun turut mencicipi rasa Facebook. Majalah Bobo membuat fanspage, dan membolehkan pembacanya berkirim surat melalui inbox Facebook. Saat ini, rubrik ‘Apa Kabar, Bo?’ sebagian besar diisi oleh anak-anak yang berkirim inbox dan SMS, hanya satu dua yang berkirim melalui surat, dan lebih sedikit lagi yang meminta bersapen.

Pikir saya dulu, ‘nanti saja, ah, bersapennya, tunggu sedikit lebih besar lagi’. Tapi begitu sudah lebih besar sedikit, media sosial mengalihkan segalanya, kantor pos sepi, warung internet ramai. Sedih sekali.

Padahal menilik dari untung dan rugi, sapen banyak untungnya lho. Selain menambah teman dan wawasan, juga:

  • Melatih kemampuan berkomunikasi secara non-verbal
  • Melatih kesabaran—dalam hal ini saat menerima balasan surat
  • Sekaligus mengembangkan hobi filateli
  • Melatih kepekaan rasa dalam menilai emosi seseorang lewat pemilihan kertas dan jenis pena, juga menilai alur perasaan dalam tebal-tipisnya tinta yang digoreskan

Dan masih banyak lagi, mungkin bapak-ibu yang lebih berpengalaman ingin menambahkan? 

Mungkin sekarang sudah terlambat, ya, untuk memulai bersuratan. Siapa sih yang memakai surat untuk berkomunikasi? Perangko terlupakan, apalagi kartu pos? Mungkin malah banyak yang belum pernah memegang.

BBM ada, LINE ada, Ktalk ada, atau tak perlu punya kontaknya juga tak apa, toh akan update status sendiri, di Path, atau Snapchat, atau Periscope yang baru-baru ini sedang ‘in’. Tak perlu kenal pun, jika ingin menanyakan sesuatu dapat dengan mudah bertanya dengan memanfaatkan fitur anonim di ask.fm. Betapa kehidupan kita menjadi sesuatu yang sangat terbuka akhir-akhir ini. Seolah tanpa batas dan tanpa kula nuwun, seluruh isi ‘rumah’ dapat terlihat.

Kau tidak jenuh dengan segala bentuk sosial media?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *