untuk apa bermain layang-layang?
‘untuk apa bermain layang-layang?’ sahut saudaraku, 5 SD. ‘harga layangan mahal.’
‘buat sendiri kan bisa? potong bambu sendiri, pasang kertas sendiri.’ kataku dengan nada yang menyiratkan kalau aku siap membantu kapan saja.
ia mendengus malas. ‘untuk apa? lagipula mainnya hanya ditarik ulur, tarik lagi, tarik, capek menerbangkannya. sampai di angkasa, hanya diterbangkan, diadu, kemudian lepas. kalau lepas dicari hingga ketemu, berlari-larian, berebut. itupun kalau tidak ditemu orang lain lebih dulu. eh, layang-layangnya kak Tho kemarin bagus ya? bentuknya pesawat.’ katanya mengalihkan pembicaraan kepada adikku.
‘Tho, Shod, Dhod!’ riuh adikku yang lain–itu urutan huruf hijaiyyah.
Aii, duhai generasi instan yang tidak menikmati proses.
Untuk apa makan, kalau akhirnya dikeluarkan lagi? Untuk apa bernafas lalu pada ujungnya tetap mati?
Prosesnya, adik-adik. Prosesnya yang butuh ketekunan, ketelitian, kerja keras. Persaudaraan dan tawa yang mencair didalamnya. Menit-menit masa kecil–yang habisnya cepat sekali– tidak seharusnya kau habiskan didepan mainan virtual, film virtual, segala yang virtual.
Adik-adik, kapan kau merasakan kasarnya tanah? Hidup tidak sehalus layar komputer.
Hidup tidak seluas layar komputer–lupakan slogan-slogan persuasif developer komputer ternama itu.
dalam hal sederhana seperti bermain layangan sudah tidak mau. lalu siapa yang akan menjadi pembangun nanti?
aii, adik adik, aku tidak tahu harus kecewa atau malah bangga denganmu yang sejak bayi sudah akrab dengan teknologi.
(P.s: memang sih setiap bakat anak berbeda, bisa saja memang bakatnya dalam bidang komputer. Tapi sedih juga memikirkan mainan anak tradisional sudah tidak begitu disukai lagi. Satu lagi budaya yang akan hilang, hm? Semoga saja tidak.)
penghujung malam:1 8 15
Leave a Reply