Udang Goreng Ibu
Kemarin, waktu akan kembali ke rantau, seperti biasa, Ibu menawarkan untuk membawakan segala macam makanan.
Lebaran kemarin, Ibu menawarkan untuk membawakan udang goreng. Dengan halus aku menolak, dengan pertimbangan ransel dan koperku sudah penuh. Selain itu, bau udang yang cukup menyengat membuatku takut kalau mengganggu penumpang lain, karena aku akan beberapa kali ganti transportasi umum.
“Ini udangnya besar-besar lho.” kata Ibu sambil menunjukkan udang yang ada di kulkas. “Dibawain ya? Digorengkan sebentar.” lanjutnya bersikeras.
Akhirnya aku mengiyakan. Ibu lantas sibuk di dapur. Kebiasaan Ibu setiap kali anak-anaknya kembali ke perantauan selalu begitu. Kebiasaan yang berlangsung sejak aku masih sekolah, hingga sudah bekerja seperti sekarang.
“Bawain kurma, Mbak?”
“Ini ada kripik singkong, enak banget, langganan Ibu. Dibawa ya.”
“Mau dibuatin sambal goreng?”
“Teri kacang mau?”
Belum lagi segala jenis buah yang ada di kebun. Rumahku di desa. Ketika masih satu pulau, Ibu tidak lupa mengirimi buah yang sedang musim seperti mangga atau rambutan, dan memaketkannya menggunakan kardus atau karung goni ke kosku di pinggiran Tangerang.
Dalam sepuluh menit, udang goreng Ibu sudah dimasukkan dalam kotak plastik bening, dibungkus lagi dengan kertas dan diplester menggunakan lakban. “Ini tadi gorengnya masih setengah matang. Nanti digoreng lagi ya.” pesannya sembari mengikatkan tali tote bag biru tua, tambahan karena tasku sudah tidak muat.
Malam hari di hari pertama bekerja, aku terbangun dengan kepala pening, baru sadar kalau aku belum makan apapun kecuali mi goreng tadi pagi. Sakit kepala itu ditambah dengan hampir tidak tidur karena subuh baru sampai, serta bensin habis di tengah jalan sehingga harus mendorong motor sambil kuyup kehujanan. Kunyalakan penanak nasi, kumasak segelas beras yang tersisa di wadah. Sambil menunggu nasi matang, aku memanaskan udang goreng yang dibawakan Ibu.
Betul kata Ibu, udangnya besar-besar. Herannya, sakit kepalaku sembuh. Mungkin aku memang lapar. Mungkin aku rindu rumah. Mungkin juga keduanya. Malam itu, aku makan dengan bersyukur.
Ibu tetaplah Ibu, yang selalu ingin membekali anak-anaknya segalanya. Barangkali kalau rumah bisa dilipat, Ibu sudah membungkusnya dalam tote bag untuk ikut serta dalam perjalanan. Kali ini, rumah mewujud di dalam kotak plastik bening, dalam rasa yang dibawa oleh udang goreng Ibu.
Leave a Reply