Tidak Semua Bisa #dirumahaja
Lockdown hari ke-entah, aku sudah malas menghitung. Sepertinya imbauan self quarantine yang cuma dua minggu itu akan ditambah, mengingat keadaan yang bertambah genting. Jakarta dan kota-kota besar lain makin parah, per hari ini sudah ada 450 kasus positif, padahal Sabtu minggu lalu, ketika yang positif baru dua, aku masih bisa ketawa-tawa karena Lana yang baru sampai di Jakarta harus langsung pulang lagi karena imbauan mendadak bahwa kuliah diliburkan hingga April. Masih bisa ngakak karena Lestari baru naik bis jam empat, jam enam pengumuman libur lanjutan baru keluar dan dia harus turun di Temanggung. Sekarang mau ketawa-ketawa nggak bisa, nggak ada yang lucu. Arin sempat jadi ODP, begitu juga Atus. Mengetahui temanmu bisa saja meninggal karena pagebluk ini rasanya beda ketika wabah itu nggak kena siapapun yang kamu kenal.
Ibu sendiri berusaha sekuat mungkin agar anak-anaknya yang—seperti halnya dirinya, nggak pernah betah di rumah ini bisa tetap tidak beranjak tanpa plesir kemana-mana. Ibu membelikan banyak jajan toplesan. Ibu menjaga rumah agar tetap bersih dan rapi, Ibu makin sering masak.
Mbah Jumeri, imam masjid, berdoa lebih lama, lebih panjang. Diantara rentetan doa yang aku cuma turut amin amin tanpa paham artinya apa, aku yakin beliau juga berdoa agar wabah ini cepat reda.
Tugasku sebagai anak kuliahan memaksaku tinggal di rumah saja. Beda halnya tukang pentol, tukang agar-agar tusuk, yang biasanya jam 7 sudah mangkal didekat rumahku, sekarang nihil. Senin atau selasa kemarin sempat datang, yang beli satu dua. Kamis kemarin, datang, menunggu, tapi tidak ada yang beli. Bunyi teot teot terompetnya hanya menjumpai aku yang sedang menyapu.
Lalu tetanggaku Mbah Sahit yang jualan perkakas rumah tangga lewat. Beliau pakai sepeda, keliling desa. Padahal, dengan letak desaku yang di gunung, kontur tanahnya tidak landai, melainkan sebaliknya. Naik turun tidak karuan. Mbah Sahit sendiri mungkin usianya 70 tahun.
“Sepi, yo?” sapa Mbah Sahit. Aku menghentikan menyapu sebentar, turut menguping.
Bapak jualan mengeluh pelan. “Iyo. Bocah libur sekolah. Panjenengan kok tasih kuat, niku? Kok tasih ganggas.”
“Halah, nek tanjakan yo tak tuntun. Yok, le,” kata Mbah Sahit berlalu.
Sebentar kemudian bapak jualan juga ikut pergi.
Aku termangu, kemudian melanjutkan menyapu. Belum selesai karena tadi pura-pura menyapu tapi sebenarnya mendengarkan percakapan. Siapa sekarang yang ingin beli perkakas dari pedagang eceran ketika semua rumah punya motor kreditan? Semua bisa mudah pergi ke kota kecamatan. Anak-anak juga sudah jarang main di jalanan, di lapangan. Ada gawai sebagai tempat berkumpul online. Tempat mana lagi untuk mangkal jualan jajan selain sekolah atau TPQ? Ya sudah, berhubung bisaku terbatas, kudoakan saja ya, Pak.
Semoga dagangan mereka dan banyak pedagang eceran lain, banyak yang beli. Semoga jualannya habis. Kalau tidak habis pun, meski rezeki menyempit tapi barokah yang didapat tetap sama…
Pesagen, 21 Maret 2020
Picture ® Kelly Sikkema