strangers
23 tahun hidup tanpa kendaraan pribadi membuatku banyak bersinggungan dengan orang lain melalui kendaraan umum. Ketika mudik, aku bahkan harus 4 kali berganti kendaraan sebelum sampai ke rumah.
Sejauh ini, interaksi yang paling kuingat adalah ketika satu kereta dengan sebuah keluarga, nenek dan cucu-cucunya. Bangku kereta ekonomi yang berhadapan, lutut bertemu lutut, membuat kami berada pada lingkaran yang sama selama berjam-jam.
Pada kesempatan itu, kami bercerita banyak. Si nenek bercerita tentang cucunya, aku bercerita tentang kegiatanku. Keluarga itu membawa bekal, lalu mengajakku makan bersama. Ketika sudah sampai, cucunya meraup sebagian permen Miltonku dengan senyum lebar dan melambaikan tangan dengan penuh semangat.
Tidak semua interaksi itu menyenangkan. Sebagai seorang perempuan, bepergian sendirian sangat rawan pelecehan seksual. Ada saja orang sakit yang berpikir kalau menunjukkan kelamin itu bisa dibanggakan. Catcalling menjadi makanan sehari-hari. Pernah satu waktu ada kakek-kakek yang awalnya mengobrol biasa, tiba-tiba mengaku lajang dan mengajak menikah (menurutku dia agak kurang waras). Semua berakhir dengan aku turun di tengah jalan karena tidak nyaman.
Di lain waktu, aku menemukan teman-teman perjalanan yang menyenangkan. Kami mengobrol seolah sudah kenal lama. Beberapa bertukar nama, tapi lebih banyak hanya menggunakan sapaan “Kak” yang universal. Hal yang diobrolkan bisa apa saja: sekolah, kuliah, bahkan kalau beruntung, hobi yang sama.
Mengobrol membantu menghabiskan waktu perjalanan. Pada akhirnya, aku lupa detail hal yang dibicarakan, atau nama orang yang kuajak mengobrol. Aku yakin kami bahkan tidak mengenali satu sama lain jika suatu saat bertemu kembali.
We shared smiles, laughter, and time. We shared a moment, but we remained as strangers.
@30haribercerita #30haribercerita #30hbc24stranger #30hbc2410