Sandang, Papan, Sepatu Gema (4)

Bis yang membawaku berhenti di depan rumahku. Rumah yang rencananya akan aku betulkan dengan uang hasil bonus, yang kuusahakan sejak awal mula bekerja, namun terpaksa harus menunggu lagi sedikit lebih lama.

Cuaca hari ini mendung tipis-tipis, matahari tampak bersembunyi di balik awan. Angin bertiup sedikit, menjadikan udara sejuk–udara yang jarang ditemui di ibukota.

Aku menguatkan hati. Istriku tentu saja akan mengetahui kalau ada yang tidak beres–tentu saja karena aku sebelumnya tidak pernah pulang seawal ini kecuali ada suatu hal yang mendesak. Kuketok pintu rumahku.

“Assalamualaikum..”

Terdengar suara langkah kaki istriku berderap menghampiri pintu, bersamaan dengan itu pintu dibuka. “Lho, kenapa pulang?” tanyanya dengan raut khawatir.

“Ada yang salah? Kamu merasa sakit? Demam?” Tangan Isna meraba dahiku yang tidak panas. “Tidak panas. Kamu pusing? Sakit perut?”

Kakiku melangkah masuk ke rumah. “Sini duduk dulu.”

Istriku, tetap menunjukkan raut wajah khawatir, tergopoh mengikutiku ke dalam rumah.

Aku mengistirahatkan punggungku di kursi depan televisi. Kuletakkan tas di sebelahku, lalu aku mulai membuka pembicaraan.

“Na, ada yang perlu kusampaikan kepadamu.” kataku pelan.

Istriku mengangguk.

“Hari ini, aku mendapat berita buruk bagiku, juga mungkin untuk keluarga kita. Aku diberhentikan dari pekerjaan, Na.” lanjutku sedih.

Isna membelalakkan mata. “Diberhentikan?Tapi–tapi katamu kemarin, tim kamu berhasil mendapatkan hasil yang baik dalam laporan tahunan? Semua itu tidak benar?” tanyanya tercekat.

Aku memegang tangannya. “Tentu saja semuanya benar. Dan berita kali ini juga benar. Meskipun timku berhasil mendapatkan hasil yang baik, tetapi ternyata, perusahaan punya kebijakannya sendiri..”

Isna memandangku dengan tatapan sedih. Ditariknya aku ke pelukannya, erat. Tanpa sadar, air mataku pelan-pelan meleleh.

Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali aku menangis.

Dan di pelukan perempuan ini, tiba-tiba aku merasa tidak berdaya. Saat ini aku merasa seperti segumpal mentega yang mencair ketika dipanaskan. Seperti sebuah daun yang diterbangkan angin nasib yang tidak tahu kemana arahnya.

Sambil tersedu, aku menjelaskan alasan-alasan yang disampaikan oleh Pak Direktur. Bahwa perusahaan pusat di luar negeri juga melakukan perampingan, bahwa pandemi menyebabkan perubahan pada kegiatan ekonomi perusahaan, bahwa bahkan kegiatan ekonomi secara global juga terdampak.

Aku juga menceritakan teman-teman lainnya yang juga ikut terdampak, bagaimana kami bereaksi kepada pengumuman di ruang direktur itu. Juga teman-teman yang meski tidak terdampak, tadi turut bersedih bersama.

Aku menceritakan semuanya. Dan Isna hanya diam, mendengarkan, sambil terus menggenggam tanganku erat.

Ketika sudah selesai bicara, aku merasa amat lega. Seperti beban yang aku bawa sedari pagi tadi tiba-tiba luruh ketika melihat wajah istriku.

“Aku takut, Na. Aku takut bagaimana kedepannya. Bagaimana aku akan menghidupi rumah ini, bagaimana Gema akan jajan.” kataku sambil mengusap mataku dengan keras.

“Itu bisa dipikirkan,” hibur Isna. “Aku mungkin bisa membantu? Begini-begini, aku juga lulusan SMA.”

Aku mengeras. “Tapi aku tidak ingin istriku bekerja, tidak selagi aku masih kuat untuk mencari nafkah.”

“Iya, aku tahu. Dan aku sangat menghargai keputusanmu.” kata Isna sambil tersenyum.

“Tapi di situasi sulit, orang harus melakukan penyesuaian. Penyesuaian bagiku adalah, mungkin aku bisa membantu untuk mencari nafkah. Penyesuaian untukmu adalah, kamu harus rela melepasku bekerja.”

“Tapi, aku lebih suka kamu di rumah saja. Beristirahat, mengurus Gema.” sergahku keras kepala.

“Aku mengerti. Tapi kondisi kita saat ini sedang sulit, kan? Dua pemasukan lebih baik daripada satu.” kata Isna, masih dengan senyum yang sama teduhnya.

“Lagian, aku melakukan ini juga demi anak kita. Aku tidak mau melihatnya bersedih gara-gara tidak bisa jajan. Bukan demi kamu,” katanya sambil meleletkan lidah meledekku.

Aku tertawa kecil. Dan aku juga tidak mau melihatmu kecapekan, kataku dalam hati. Istriku jika sudah memutuskan sesuatu, sulit untuk memaksanya berganti pendapat. Terlebih pendapatnya kali ini juga benar.

Mungkin kali ini aku akan mengalah terhadap istriku. “Jika bagimu itu tidak apa-apa, baiklah, aku setuju. Tapi apa yang akan kamu lakukan?”

“Soal itu bisa kita pikirkan nanti. Yang penting sekarang kita makan siang dulu. Kamu sudah lapar, kan? Yuk, makan dulu.” kata Isna sambil menggandeng tanganku ke meja makan.

Sesederhana apapun keluarga kami, kami harus punya meja makan. Itu adalah hal yang dibawa Isna dari keluarganya, bahwa makan bersama adalah hal yang penting bagi sebuah keluarga. Jika tidak lembur, aku selalu menyempatkan untuk makan malam bersama di rumah.

Tidak selalu Isna yang memasak. Terkadang kami membeli ayam lalapan, atau sekadar membeli di warung bakso depan pertigaan. Yang terpenting adalah momen makan bersamanya, di meja kami yang sempurna persegi. Aku duduk di sisi kanan, Isna duduk di sisi kiri, ditengah-tengah kami ada Gema dengan kursinya yang lebih tinggi daripada kursi kami semua. Pemandangan ini yang selalu membuatku rindu dengan rumah.

Di atas meja, Isna menghidangkan sayur bayam dengan bumbu kunci. Di sebelahnya piring berisi tempe goreng dan cobek berisi sambal juga sudah tersedia. Sedap sekali baunya.

“Dimakan dulu.” kata Isna mempersilakan.

“Maaf karena nggak banyak, aku nggak mengira kamu bakal pulang ke rumah, jadi aku cuma masak buat aku dan Gema saja.” katanya sambil tertawa kecil.

Isnaku, Isnaku. Bagaimana kamu masih menemukan tawa dalam keadaan seperti ini?

“Aku yang minta maaf,” suaraku pecah. Sepertinya aku bisa menangis kembali. “Aku minta maaf belum jadi pasangan yang baik, belum jadi Bapak yang baik. Empat tahun kita bersama, aku hanya mampu memberikanmu seadanya. Rumah juga seadanya, dan belum lunas. Kendaraan kita juga sama. Bahkan hari ini aku dipecat.” kataku mengeluh.

Isna kembali menggengggam tanganku erat. “Kamu nggak perlu minta maaf.”

Aku tetap meracau. “Aku mengajakmu menikah bukan ingin untuk mengajakmu bekerja, bukan ingin mengajakmu menderita. Aku ingin kamu bahagia, aku ingin kamu senang dengan hidupmu—”

“Mas!” kata Isna sedikit menyentak. Isna tidak pernah memanggilku Mas, selain karena kami terbiasa memanggil nama, juga karena kami berada di umur yang sama. Sekalinya Isna memanggilku Mas adalah ketika kami masih baru menikah, karena keluarga besarku mengharuskan Isna memanggilku demikian. Selebihnya, kami saling memanggil nama. Isna lebih nyaman dengan itu, akupun tidak masalah.

“Kamu harus tahu, ketika aku memutuskan menikah denganmu, itu karena aku sudah siap dengan segala resiko pernikahan, Mas. Aku bukannya asal dalam memilih, juga tidak buta ketika memasuki kehidupan baruku bersama kamu.

Aku banyak belajar dari Ibu, bahwa kehidupan pernikahan pasti ada naik turunnya. Pasti ada senang sedihnya. Sejak jauh hari aku sudah menyiapkan itu.” Isna menarik nafas sebelum melanjutkan percakapannya.

“Selama ini kamu sudah memberiku banyak kebahagiaan, bersama Gema juga. Jadi kalau hari ini kita harus berjuang lebih keras, aku akan berusaha melakukan itu juga.”

Aku mengedipkan mata tidak percaya. Kenapa aku bisa mendapatkan perempuan ini di hidupku? “Kamu tidak sedih?”

“Tentu saja sedih!” potong Isna cepat. “Tadi aku sangat kaget. Lalu ketika kamu mulai bercerita, aku mulai memikirkan bagaimana hidup kita akan berlangsung ke depannya. Kamu sedih. Aku juga sedih. Tapi sedih bukan alasan untuk kita tidak melanjutkan hidup.”

“Tapi sedih bukan alasan untuk kita tidak melanjutkan hidup,” ulangku pelan. Pikiranku masih mencoba mencerna kata-kata Isna yang seperti berserakan di depan wajahku.

“Meski sedih, kita harus bisa hidup bersama dengan kesedihan itu. Kita masih butuh makan, kita masih butuh hidup. Sedih saja tidak akan membantu. Kita harus bergerak.”

Aku mengangguk pelan, betapa aku banyak berhutang pada perempuan ini.

Isna mengeratkan gandengan tangannya. “Kamu harus ingat ya. Pernikahan itu dilaksanakan dua orang. Selama ini kamu jadi nahkodanya. Kali ini, izinkan aku untuk ikut mengendalikan arah kapal bersama kamu, boleh? Kita akan jadi pasangan nahkoda paling keren.”

Aku mengusap air mataku yang menitik lagi. Tuhan, mengapa air mata ini tidak habis-habis?

Kugenggam erat tangan istriku. Tangan yang membuat rumah ini hidup dan hangat. Tangan yang dengan ikhlas mengurus Gema sejak lahir, mulai dari memandikan, memakaikan baju, hingga memasak dan menyuapi. Tangan yang setiap hari ringan membersihkan dan merapihkan rumah, apalagi dengan hadirnya Gema, rumah menjadi sangat sulit untuk teratur.

Tangan yang tidak terasa sehalus dulu, namun garis-garis di tangannya adalah bukti bahwa dia juga berjuang untuk menjadikan keluarga ini tempat terbaik untuk pulang.

Kami melanjutkan makan dalam diam. Sambil kedepannya memikirkan langkah terbaik, bagiku, baginya, bagi Gema, dan bagi keluarga ini.

(Bersambung)

Leave a Reply