Sandang, Papan, Sepatu Gema (3)

.

“Pak, sepatuku mana?” tanya Gema dengan raut berbinar. Sepatu yang dia idam-idamkan sejak melewati toko bersama Ibunya pekan lalu, warnanya putih dengan tali merah, sol sepatunya cokelat. Kalau beli sepatu, dapat bonus jam tangan, katanya.

Laki-laki itu melihatnya dengan pandangan sedih. “Belum ada, nak.”

Gema mengerucutkan mulutnya sejenak. “Kan aku mau sekolah, Pak..”

“Ya, kamu sekolah. Tapi sepatunya, sebentar dulu ya. Kan belum mulai juga sekolahnya..”

Gema meninggalkan Bapaknya dengan langkah gontai. Orangtuanya melihatnya dengan tatapan yang tak kalah lunglai.

***

Tidak pernah aku bayangkan kalau hal tersulit dari pemberhentian ini adalah justru bagaimana caranya berkata kepada keluargaku. Kepada istriku. Wanita yang kunikahi empat tahun lalu demi janji-janji kehidupan yang lebih baik.

Isna, namanya.

Gadis berambut pendek yang duduk di depanku semasa orientasi. Pertemuan kami diawali dengan kesalahpahaman, tugas yang salah dikerjakan membuat kelompok kami harus maju dan menerima hukuman. Tapi sejak itu kami menjadi dekat. Setahun setelah bekerja, kami menikah.

Isna wanita yang istimewa. Parasnya biasa saja. Wajah yang tidak langsing, hidung yang tidak mancung, pipi yang berisi. Hidungku dan hidungnya sering kami jadikan bahan bercanda, karena sama-sama mancung ke dalam. Pun fisiknya juga biasa saja: kulit sawo matang, tidak terlalu tinggi, tidak terlalu gemuk dan tidak kurus juga. Barangkali yang spesial dari penampilannya adalah tanda lahir berupa tahi lalat yang ada di atas bibirnya, menunjukkan seberapa kreatifnya istriku dalam berbicara.

Tapi di atas penampilan fisik, perangai Isnalah yang berhasil membuatku terpikat untuk pertama kalinya. Dia wanita yang sederhana, gadis dari desa yang cukup jauh dari sekolah sehingga setiap hari berangkat menggunakan bus kota. Bapak Ibunya petani, adiknya satu, praktis menjadikan Isna anak harapan kedua orangtuanya.

Pagi buta dia bangun, membantu orangtuanya menyiapkan barang-barang yang dibawa ke ladang seperti alat penyemprot obat, berbagai jenis cangkul dan parang, ember, dan masih banyak lagi. Tidak lupa membuat bekal di kertas minyak untuknya sendiri, orangtuanya, serta adiknya. Siang hingga sore di sekolah, lalu malamnya menempuh lagi perjalanan 40 kilometer menuju rumahnya.

Barangkali, tiga tahun menempuh perjalanan 80 kilometer tersebut membuatnya menjadi perempuan yang tahan banting. Isna amat jarang mengeluh, meskipun keadaan keluarganya kadang tidak membiarkannya untuk memiliki hal yang sama seperti teman-teman lainnya. Keadaan yang memaksanya menjadi tangguh dan mandiri, keadaan itu juga yang membentuknya menjadi istri dan Ibu yang luar biasa bagi Gema.

Di atas semua penampilan luarnya, perangainyalah yang membuatku jatuh cinta, lagi dan lagi.

Bagaimanalah aku akan memberitahu perempuan yang telah memberiku kebahagiaan itu, dengan kabar buruk ini?

***

Pagi itu, selepas duduk bercakap dengan Ibu nasi uduk, tiba-tiba ada panggilan masuk dari Roni, yang mengabari bahwa aku diminta untuk menuju ke kantor. Segera kuambil langkah cepat, barangkali semua pesan dan surat yang aku terima kemarin hanyalah mimpi belaka.

Sesampainya di ruangan direktur, aku menemui ketua divisiku itu, yang rupanya berwajah sembab. Aku melirik ke ruangan yang selama ini menjadi tempat kami rapat menyampaikan ide dan gagasan, dan melihat beberapa teman lainnya. Baik dari divisiku maupun divisi sebelah, totalnya sekitar 20 orang.

Terbata-bata Roni menyampaikan maksud dan tujuan awalnya mengumpulkan kami disini, yaitu tentang gelombang 1 pemberhentian kerja di perusahaan.

Kami terkesiap, meskipun sudah tidak kaget lagi. Beberapa pegawai perempuan mulai menitikkan air mata, satu dua mengusap wajah dengan lengan baju. Aku sendiri berpandangan kosong.

“Kami masih memberikan pesangon senilai dua kali gaji, serta THR. Semoga uang tersebut cukup untuk bertahan selama beberapa bulan.” kata Direktur dengan raut prihatin.

“Pak, mengapa tidak ada pemberitahuan dulu sebelumnya? Kalau tahu begini, setidaknya kami bisa mempersiapkan terlebih dahulu.” protes salah seorang karyawan yang mulai bekerja di waktu yang hampir bersamaan denganku.

“Kami tahu perusahaan sudah berusaha memberikan kompensasi berupa pesangon, tapi cari kerja juga sulit, Pak.” sahut yang lainnya.

“Apalagi di zaman pandemi seperti sekarang, cari kerja sudah bukan sulit lagi Pak.. Tapi langka.” timpal sisanya.

Direktur melepas kacamatanya. “Saya tahu, kondisi sedang sulit. Tapi kondisi perusahaan juga tidak kalah sulit.” katanya menghela nafas sedih. “Kami terpaksa melakukan ini karena perusahaan juga akan sulit jika mempertahankan lebih banyak pegawai.

Inipun baru gelombang satu. Mungkin selanjutnya akan ada pemberhentian lagi. Mungkin selanjutnya bahkan saya sendiri, pun, akan terdampak juga.”

“Apakah tidak ada acara lain?” tanyaku pelan.

“Sayangnya keputusan ini sudah final, rekan-rekan semua.”

Aku melihat ke sekelilingku. Wajah-wajah pucat yang kehilangan harapan, dan barangkali wajahku sepias itu juga.

“Dengan ini, maka rapat ini ditutup.. selamat siang.”

Dengan muram kami semua bangun dari tempat duduk. Mata kami satu sama lain saling menemukan. Beberapa lantas terisak keras, saling memeluk dan menguatkan.

Roni datang menghampiriku, tangannya terbuka mengajakku berjabatan tangan.

“Bro.. gue minta maaf.” katanya sambil tertunduk. “Tidak mudah buat gue, tidak mudah juga buat semuanya.”

Aku membalas uluran tangannya. “It’s okay, man. Gue tahu, lo cuma menyelesaikan tugas yang diberikan dari atasan kita saja.”

“Kalau ada yang bisa gue bantu, bilang aja ya, bro.” Roni mengeratkan uluran tangannya kepadaku.

“Siap bro. Gue balik dulu ya. Titip yang lain.” kataku sembari mengusahakan seulas senyum tipis.

Siap? Apanya yang siap? Aku lebih dari ingin untuk menangis berguling-guling, seperti yang biasanya Gema lakukan di rumah. Namun gengsi dan egoku masih lebih tinggi, sehingga aku memutuskan berpura-pura kuat sebelum bisa bercerita kepada orang yang aku percayai saat ini, yakni istriku di rumah.

Aku melangkah menuju ruangan yang telah kudiami lima tahun terakhir ini. Dua teman seruanganku yang ikut terkena dampak perampingan perusahaan bersamaku tidak kelihatan, sepertinya mereka masih di ruangan Direktur.

Di ruangan itu ada Timo dan beberapa teman lain, yang bergegas merangkulku dengan erat. Tanpa banyak kata-kata, mereka kompak menepuk-nepuk bahuku.

“Kuat ya, bro.”

“Semangat terus, demi anak istri lo.”

“Kak, semoga cepat dapat pekerjaan baru ya.. Kami semua mendoakan dari sini.”

Aku tidak bisa tidak terharu. Kehangatan dan kekompakan ini yang kelak akan aku rindukan. Teman-temanku lima tahun terakhir..

Setiap sudutnya merupakan tempat yang sarat akan kenangan. Meja tempat kami berdiskusi dan briefing tiap pagi, kaca tempat Roni setiap harinya membetulkan rambut, dinding yang setia menjadi background pada tiap foto-foto kami. Setidaknya foto-foto kami yang dipajang di dinding membuktikan bahwa kami pernah bersama-sama.

“Gue pamit, ya. Titip kantor, ya.” kataku berat.

Mereka mengantarku sampai ke halte bis di seberang kantor. Barangkali karena suasana kantor sedang tidak enak, tidak ada yang menegur rombongan yang ramai-ramai mengantarkan satu orang ini.

“Gue yakin, setelah ini lo pasti dapat kerjaan yang lebih baik!” begitu salam terakhir dari mereka.

Aku melihat lambaian tangan mereka masih bertahan hingga bisku menuju berbelok arah. Sekarang giliranku memikirkan kata-kata yang akan kuucapkan kepada istriku nanti. Jika siang ini tidak macet, maka bis kota ini akan membawaku ke rumah tepat satu jam kemudian.

Maka aku punya satu jam untuk memikirkan kata-kata apa yang dapat kukatakan pada istriku nanti. Yang tidak akan membuat dia terlalu sedih, pun aku juga.

(Bersambung)

Leave a Reply