Sandang, Pangan, Sepatu Gema
“Pak.”
“Ya.”
“Anakmu minta sepatu.”
Laki-laki itu menengadahkan wajahnya ke langit yang rapat dengan gulungan awan hitam. Barangkali siang ini dia bisa mencoba membantu merapikan rumput di rumah sebelah, membetulkan pipa rusak, membersihkan toilet—apa saja yang bisa dilakukannya. Dia berdiri, merapikan kemejanya yang sedikit kusut karena satu jam duduk di kursi tunggu stasiun, dan berkata pada telepon genggamnya.
“Berapa harganya?”
***
Aku terperangah melihat laporan bulanan kantor bulan ini. Targetnya tercapai semua! Buru-buru kutelepon managerku, Roni. “Bro, selamat ya! Gilaaaa, work hard paid off!” kataku senang.
Roni di ujung sana aku bayangkan sedang nyengir lebar sambil mengusap-usap kepala kribonya yang tidak gatal. Lagaknya menutupi senangnya dengan batuk-batuk. “Ehm, ehm. Biasalah.. ada gue, semua beres.”
“Jadi, kita bakal dapat bonus lebih, nih?” tanyaku dengan senyum tertahan. Pikiranku jumawa membayangkan akan merenovasi rumah dengan uang hasil bonus yang aku dapat. Biar sejuta dua juta, itu sudah sangat lumayan agar kami tidak perlu lagi menadahkan ember pada setiap bocor karena hujan.
Pikiranku semakin bahagia membayangkan Gema, anakku, dengan wajah bulat dan potongan rambut yang juga bulat, akan segera memiliki kartu pelajar pertamanya. Ya, mulai tahun ini, dia akan masuk taman kanak-kanak. Badan gempalnya akan sangat lucu memakai seragam yang berumbai biru, dengan celana biru.
Kalau mau, dia bisa mengalungkan botol minum (yang mungkin juga berwarna biru) di lehernya, seperti aku dahulu. Tasnya, mungkin gambar Tayo yang tiap hari dia putar di gawai Mamanya seperti kaset rusak. Ukuran besar? Ukuran kecil? Atau tas yang bisa digeret?
“Soal itu kecil, man. Nanti gua ngomong sama Bos. Makasih sudah mau bantuin gua ya, man.”
“Aman bos.” kataku senang, sambil mengakhiri telepon.
Langkahku mengayun tenang melewati pintu depan kantor. Dengan berita tadi, tas dua puluh literku yang penuh berisi laptop dan hal-hal yang kubawa dari rumah demi menghemat ongkos (bekal, misalnya) tidak lagi terasa seberat sebelumnya. Ternyata benar adanya bahwa hati yang ringan akan membuat semua menjadi ringan.
Sebelum keluar, terlebih dahulu aku mengayunkan kartu pegawaiku di depan mesin scan untuk absen pulang. Mesin itu membaca ID Cardku dalam sekejap sebelum menampilkan seraut wajah yang tidak lagi kukenal—wajahku saat muda. Yang bebas dari tebalnya kantung mata, kerutan di dahi, dan ekspresi lelah yang tidak hilang-hilang.
Terhitung sudah lima tahun aku bekerja disini, sejak lulus sekolah, hingga aku bisa menyelesaikan sekolah lagi. Satu-satunya perusahaan yang mau menampungku sebagai lulusan SMK. Aku berhasil masuk karena sempat mengikuti ajang perlombaan yang diadakan oleh anak dari induk perusahaan besar di Asia Timur jauh sana, dan ya, tidak menang. Tapi aku menarik perhatian karena menjadi satu-satunya anak sekolah yang ikut. Meski dulu alasanku ikut hanya karena berharap mendapatkan makan gratis (lombanya seharian), aku tidak berpikir dua kali untuk bergabung ketika ditawari. Lulusan SMK mana lagi yang bisa kerja di perusahaan multinasional, kan?
Meski awalnya sulit, leader dan managerku adalah orang yang baik. Aku dengan banyaknya selisih pengetahuan dibandingkan lulusan sarjana diajarkan hal-hal yang sama setiap harinya. Dengan ketertinggalanku, mau tidak mau aku harus banyak bertanya. Atasanku kudatangi setiap habis waktu bekerja dan dia selalu siap mengajarkan hal yang belum aku mengerti.
Satu tahun mengumpulkan biaya, aku kuliah. Di jurusan yang dapat membantuku meningkatkan kualitasku dalam hal pekerjaan. Kuliahnya tidak sulit. Rekan kerjaku pun siap membantu jika diperlukan—entah itu menggantikan shift karena ada jadwal ujian, atau sesederhana menyemangati setiap ada tugas. Empat tahun berselang, aku lulus dengan nilai cukup. Kelulusanku dirayakan satu ruangan, berbondong-bondong mereka memesan makanan untuk syukuran.
Hingga hari ini, sekian ribu kali aku menyapukan ID Cardku ke mesin absen, perasaanku kepada perusahaan ini tetap sama—hangat dan menyenangkan. Di luar kujumpai Timo yang mukanya juga sama bungahnya. Kusapa sejenak sebelum kakiku melangkah naik ke bus angkutan kota yang lewat tiap sepuluh menit itu. Tak lama setelah mengistirahatkan pantatku ke kasur, aku tertidur. Salah satu kelebihanku adalah bisa tidur dimana saja, dengan posisi apa saja. Aku cukup senang dengan kelebihan ini, meski istriku di rumah sering mengomeli, aku dibilangnya pelor—nempel molor.
***
Roni mengusap wajah. Bunyi suara AC mendesing pelan, kedua jarum jam bertumpuk di tengah. Pesan dari gawai yang terbuka di depannya itulah yang membuatnya mendesahkan nafas berat.
“Lay Off Perusahaan Gelombang I per tanggal 01. Silakan masing-masing bagian menyetorkan nama yang diusulkan. Kabari paling cepat jam 8, tks.”
Sial! Batinnya kacau. Padahal menurut laporan bulanan, timnya berhasil mencapai target, bahkan lebih. Pesan dari direkturnya membuatnya tidak lagi selera untuk menyentuh mie rebus didepannya. Gimana caranya gue bilang ke tim gue..
Tanpa diketahui banyak orang—kecuali bagian Keuangan dan direktur sendiri—perusahannya itu membukukan rugi lebih banyak ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini yang sebetulnya sudah mulai muncul tanda-tandanya sejak beberapa tahun lalu, diperparah dengan pandemi. Ekonomi makro global yang tidak stabil, ditambah suntikan dana investor yang macet menyebabkan perusahaan induk mereka di Asia Timur mengalami goncangan yang hebat.
Ia tidak sempat bertanya—dan tidak perlu. Perintah direktur adalah hukum yang berlaku. Sembari tangannya mengetik nama-nama, pikirannya tidak berhenti memikirkan nasib para pegawainya. Masing-masing punya keluarga yang harus dihidupi. Berulang kali dia merapalkan kata yang sama dari mulutnya.
Maaf.. maaf.. maaf..
***
Tanganku baru mengancing lengan kemejanya ketika gawaiku berbunyi. Bersamaan dengan itu, terdengar suara Gema berteriak kencang.
“Paaakkk,”
Pasti masalah buncis lagi. Istriku sedang suka masak oseng buncis dan telur, sementara anakku membencinya. “Kenapa, nak?”
“Buncis lagi.” jawab makhluk kecil itu sambil merengut. Secara umum, anak-anak membenci sayuran. Tapi buncis dan Gema adalah musuh berat, yang dengan senang hati dimasak berkali-kali oleh ibunya.
Istriku datang sambil nyengir dari dapur, tangan kanannya masih memegang sutil. “Itu sayuran, nak. Makan tidak boleh pilih-pilih.” tambahnya.
“Tapi sayuran yang ini rasanya aneh! Sayuran yang lain enggak. Aku mau yang lain. Kalau enggak, aku nggak mau makan.” Gema menjawab sambil menjauhkan badannya dari meja makan. Kami memang mengajarkannya untuk makan dengan duduk sejak awal. Kata akun parenting di media sosial, hal itu untuk menumbuhkan disiplin sejak awal.
“Hapenya bunyi, sayang. Kamu telat ngantor, ya?” tanya istriku. Aku seketika teringat akan ponselku yang berbunyi sebelum Gema memanggilku.
Kubuka pesan yang masuk. Ternyata sebuah dokumen.
Dari Roni.
Dokumen permintaan maaf karena harus mengurangi jumlah karyawan. Dengan rincian gaji yang tetap dibayarkan—dua kali lipat—beserta pesangon dan THR.
Kalau memang betul meminta maaf, kenapa dilakukan sebelumnya?
Kenapa tetap meminta maaf ketika hal yang akan dilakukan tetap membuat penerimanya berduka?
Hari itu, aku tetap pergi ke kantor seperti biasa. Tetap mengambil rute seperti biasa. Tetap berhenti di depan kantor seperti biasa. Alih-alih menyebrang jalan, aku duduk di kursi tunggu halte.
Sekarang, apa lagi?