Sandang, Pangan, Sepatu Gema (5)

“Jadi sepatu Gema kapan belinya Pak?” tanya si kecil mungil itu sambil menjilati tangannya yang penuh dengan remahan snack cokelat.

“Nanti ya, Nak. Bapak dan Ibu sedang cari uang dulu.” jawab istriku, mencoba membesarkan hatinya.

“Ibu cari uang juga? Yang cari uang kan, Bapak. Kenapa bu?”

“Biar Gema bisa beli sepatu yang baguuus sekali.Tidak apa-apa ya?” 

“Tapi Gema pengen kalau pulang main, Ibu ada di rumah.” kata anak itu, bibirnya mengerucut membayangkan Ibunya tidak ada di rumah ketika dia mencarinya.

“Tentu saja Ibu tidak kemana-mana.” hibur istriku. “Ibu tetap bisa kerja dari rumah. Jadi kalau Gema cari, Ibu selalu ada.”

“Asyik!” soraknya. Anak sekecil itu mungkin tidak memahami sesuatu yang besar telah terjadi dalam keluarganya. Tapi biarlah, biar saja dia ceria sesuai dengan umurnya.

Kami memutuskan untuk mencoba hal yang paling banyak dilakukan orang yang baru diberhentikan dari pekerjaan: membuka usaha.

Dengan uang pesangonku yang tidak seberapa itu, kami membuka warung sembako sederhana di depan umah. Tidak besar, ‘warung’ itu hanya bermodalkan teras depan rumahku serta sebuah rak kayu yang awalnya kami pakai untuk menyimpan pakaian. Meski tidak menyetok banyak, kami mengusahakan warung kami memiliki barang seberagam mungkin.

Berbagai keperluan yang tersedia mulai dari kebutuhan pokok seperti minyak, sabun, dan beras, juga barang-barang pengisi dapur. Di depan warung, Isna juga menggelar jajanan kecil dalam satu rak yang bisa digapai oleh anak kecil. 

Kebetulan rumah kami dilewati anak-anak yang akan berangkat ke taman pendidikan Al-Qur’an, dan kami berharap semoga anak-anak itu mau melirik jajanan kami dan membelinya. Meski berjualan sembako untungnya tidak seberapa, namun setidaknya barang-barang yang dijual adalah barang-barang yang juga berguna di kehidupan kami.

Selain itu, istriku juga berusaha membuat kue-kue untuk dititipkan di kantin sekolah. Sedari kecil menyiapkan makan sendiri, membuat Isna piawai memasak, bahkan membuat kue-kue kecil. Jajanan seperti risol sayur, kue pastel, atau berbagai jajanan yang dibungkus daun dengan ajaib bisa disiapkan oleh istriku dengan alat yang seadanya.

Sementara itu, aku juga berusaha melamar ke perusahaan lain. Kusiapkan riwayat hidupku, beserta resume pekerjaan yang sudah kuperbaiki bermalam-malam. Kuingat-ingat semua detail pekerjaan yang sudah kulakukan lima tahun terakhir. Hal yang sebelumnya belum pernah aku lakukan karena aku mendapatkan pekerjaanku sebelumnya seperti main lotre saja—hanya beruntung.

Barangkali kali ini, keberuntunganku sedang diuji apakah sudah sebanding dengan usahaku atau belum.

“Hari ini interview pertama ya?” tanya Isna sambil melipat daun pisang. 

Aku di sebelahnya mengangguk, sembari menyelipkan lidi untuk membungkus jajanan itu. “Nanti sore pukul 3. Setelah ini aku langsung siap-siap, ya. Aku harus tiba di tempat sebelum pewawancaranya datang.”

“Semoga berhasil,” senyum Isna. “Doaku selalu menyertai. Tidak apa-apa ya, tidak diantar?” tanyanya jahil, seolah aku adalah siswa sekolah yang masih butuh diantar kemana-mana.

Aku melambaikan tangan, tertawa. “Semoga nanti yang aku bawa pulang adalah kabar baik.”

Isna mengangguk penuh harap. Di sebelahnya, Gema tertidur pulas selepas lelah bermain di rumah tetangga.

***

Bis kota meluncur membelah padatnya kendaraan di jalan arteri. Perusahaan yang akan aku datangi memiliki muasal yang sama dengan perusahaanku sebelumnya, dari suatu negara di Asia Timur jauh sana.

Ban berdecit, bis telah berhenti pada halte. Segera aku menuju tempat yang dimaksud dengan tergesa. Aturan pertama, tidak boleh terlambat. Barangkali jika aku bisa datang sebagai kandidat pertama, aku akan leih dipertimbangkan, pikirku.

Begitu sampai di tempat, ternyata antrian sudah mengular. Aku mengerutkan dahi, ternyata tidak semudah itu. Banyaknya lay-off yang terjadi akhir-akhir ini rupanya membuat lowongan kerja seperti gula yang dikerumuni oleh semut. Hampir semua yang datang memiliki wajah yang sama—lelah, namun penuh harap.

Satu jam menunggu, dengan peluh dan terik karena kebetulan cuaca ibukota sedang panas, akhirnya aku mendapatkan tempat duduk. Di sebelahku duduk seorang Bapak paruh baya yang juga membawa map yang kutebak memiliki isi yang sama denganku.

“Sudah lama nunggunya, Pak?” sapaku ramah.

“Lumayan, sudah satu setengah jam. Adik baru datang?” Bapak itu mengeluarkan sapu tangan untuk mengusap wajahnya yang berkeringat. Ternyata bukan cuma aku saja yang merasa kepanasan.

“Sudah menunggu satu jam di luar, Pak. Ramai sekali antriannya.”

“Betul, dari tadi saya menunggu untuk mendapatkan tempat duduk, akhirnya dapat juga. Yang tua gini, kadang bisa kalah dengan yang muda, hahaha.” kata Bapak itu tertawa pelan.

Aku tersenyum. “Sudah berapa lama, Pak, di perusahaan yang lama?”

“Wah, sudah seumur hidup saya, seingat saya.” kata Bapak itu, matanya menerawang jauh. “Rasanya seperti baru kemarin saya mendapatkan seragam OB kantor. Setelah itu, saya diangkat jadi staf, pelan-pelan naik jadi staf senior.

Saya sudah berpikir untuk menghabisan masa tua di perusahaan itu hingga pensiun. Ternyata, bisa habis juga masa bekerjaku disana. Rencana kita kadang memang cuma rencana ya, Dik.”

Aku mengangguk bersimpati. Bapak ini bahkan terlihat jauh lebih tua dan senior ketimbang aku. “Kalau kata orang, manusia bisa berencana, tapi tetap Tuhan yang menentukan, Pak.” kataku ringan.

Bapak itu melengkungkan mulutnya, tersenyum. “Kamu masih muda, tapi kok sudah pintar ya. Saya Cipto. Nanti kalau ketemu di jalan, jangan lupa menyapa.”

Aku membalas senyumnya, kemudian melambaikan tangan karena Pak Cipto terlebih dahulu dipanggil ke ruangan interview. Sambil menunggu, kuingat-ingat hal yang kubaca dalam artikel berjudul “Tips dan Trik Persiapan Interview Kerja”. Kuulang kembali tanya ajawab yang sudah aku latih bersama istriku.

“Peserta 304!” seorang resepsionis memanggilku.

Aku merapikan kemeja dan celana bahanku yang sedikit kusut karena duduk. Kumasuki ruangan yang di dalamnya ternyata hanya ada satu orang interviewer saja.

“Selamat pagi,” sapaku ketika memasuki ruangan.

“Pagi,” Orang itu berdiri dari tempat duduknya untuk menyilakanku duduk. “Silakan duduk.”

Aku duduk di sebuah kursi besi yang biasanya dipakai untuk mahasiswa kuliahan. Suhu ruangan itu cukup rendah, kontras dengan cuaca di luar.

“Silakan memperkenalkan diri dulu,” kata pria berkacamata di depanku sambil mengambil pulpennya.

Aku memperkenalkan diri dengan lancar, sembari sedikit menjelaskan tentang pekerjaanku sebelumnya dan apa saja yang pernah kuraih di perusahaan. “Jadi kurang lebih seperti itu, Pak.” Pak? Mas? Kak? Aku tidak tahu harus memanggil apa.

“Mas saja tidak apa-apa,” katanya dengan wajah ramah. “Setelah saya lihat resume kamu, ternyata kamu punya pekerjaan yang cukup spesifik ya. Disini tertulis kamu sudah bekerja selama lima tahun di bidang yang sama?”

“Betul, Mas.”

“Bisa jelaskan kepada saya, mengapa tidak mengambil pekerjaan di bidang yang berbeda?”

Aku menjelaskan mengapa aku bertahan dalam divisi tersebut. Selain memiliki rekan kerja yang baik, aku juga menyukai pekerjaanku. Aku suka bergelut dengan data-data, memainkan rumus-rumus di Microsoft Excel.

“Kalau dilihat, lima tahun di bidang yang sama, itu seperti Masnya terlalu asyik dalam zona nyaman.” kata pria di depanku. “Kami takut kamu tidak bisa beradaptasi disini, karena disini punya budaya kerja yang mengharuskan seorang pegawai untuk menguasai beberapa jenis pekerjaan.”

Aku memantapkan untuk menjawab. “Saya bersedia untuk belajar Pak. Bahkan jika itu di luar zona nyaman saya.”

“Oke, kalau begitu. Lalu, kamu kurang lebih sudah lima tahun bekerja di kantor lama. Seharusnya, masuk ke sini bukan sebagai fresh graduate, ya. Seharusnya sudah masuk pro-hire?

“Saya masuk ke perusahaan dalam status lulus SMK, mas. Sembari bekerja, saya berkuliah. Sehingga meski sudah lima tahun, status saya juga masih sebagai staf biasa. Saya baru lulus kuliah setahun yang lalu.” jawabku mantap.

Setelah itu dilanjutkan beberapa tanya jawab lagi yang, meski tidak mudah, namun aku berhasil  menjawabnya—yang semoga bisa sesuai dengan ekspektasi pewawancara.

“Baik, kalau begitu. Terima kasih atas waktunya. Hasilnya akan diumumkan, paling lambat besok, ya.”

“Baik, Mas.” ujarku dengan senang. Apapun hasilnya, ini interview pertamaku yang syukurnya sudah selesai.


Tinggal menuju tempat wawancara pekerjaan yang kedua. Barangkali di tempat selanjutnya, wawancara juga akan berjalan menyenangkan.

(Bersambung)

Leave a Reply