Sandang, Pangan, Sepatu Gema (2) Shalvia Shahya Sahitya
Fiction

Sandang, Pangan, Sepatu Gema (2)

.

Asap kota bercampur deru kendaraan menjadi suara yang aku dengarkan tiap pagi tanpa absen, begitupun hari ini. Matahari pagi bersinar hangat, bis kota dan kendaraan pribadi simpang siur membawa pekerja kantoran, ibu-ibu ke pasar, juga anak-anak yang berangkat ke sekolah, menuju tempatnya masing-masing. Angin berhembus pelan melewati anak rambutku yang tetap saja tidak mau rapi meski ditata dengan minyak rambut.

Dunia, mengapa mereka berjalan normal dan baik-baik saja?

Apa mereka tidak tahu kalau salah satu penduduk kotanya sedang duduk di pinggir jalan, termenung memandangi jalan karena tidak tahu harus berbuat apa? Hatiku terasa kosong, rasanya berat seolah-olah seisi dunia runtuh jatuh menimpa kepala.

Barangkali hidup memang begitu. Di luar sana harus jalan terus, meski diri sendiri sedang kepayahan.

Segera kuambil gawaiku untuk menghubungi rekan lainnya. Timo, apa kabar Timo?

Ting! Sebuah pesan masuk.

Dari Timo. “Bro, dimana? Kok ga masuk?”

Kuhela nafasku berat. Timo sepertinya tidak tabu menahu, dan masih menjadi pegawai.

Kubalas segera dengan emoji kepala kuning bundar dan senyum yang lebar, sembari bilang sedang di jalan.

Aku memutuskan menjauh dari halte seberang kantorku itu. Kulangkahkan kakiku dengan gontai menghampiri ibu penjual nasi uduk yang biasanya tiap pagi tanpa absen selalu mengisi energi dari orang-orang dalam divisiku.

“Lho, masnya kenapa di luar?” tanya Ibu nasi uduk, tangannya sibuk membungkusi pesanan yang tampaknya adalah milik kantorku. “Nanyain nasi ya, mas? Ini sebentar lagi selesai, kok. Tadi agak lama soalnya kertas minyaknya habis, harus beli dulu.”

Wangi bawang goreng meruap memenuhi indra penciumanku, bersamaan dengan wangi gurih kelapa dari nasi uduk bercampur dengan suwiran ayam dan tahu tempe bacem. Perutku keroncongan. Segera aku duduk di kursi yang tersedia. “Bu, hari ini punya saya dimakan disini aja. Saya bosan makan di kantor.”

Ibu nasi uduk tersenyum kecil. “Ya, nanti habis ini Ibu ambilkan nasinya. Sekali-kali ganti suasana ya mas. Disini makan bisa sambil lihat-lihat jalan.” katanya ringan sambil mengambil karet warna hijau. Hijau untuk yang tidak pedas, merah untuk yang pedas. “Berarti ini pesanannya Ibu kurangi satu, ya. Kan masnya makan disini.”

Aku mengacungkan jempol. Lamat-lamat aku memperhatikan lincah tangan Ibu nasi uduk dalam membungkus nasi. Sat set sat set, tidak sampai satu menit selesai membungkus. Lalu menyelesaikannya dengan karet. Lantas menyusunnya dalam kotak besar yang nanti akan diantar ke kantorku.

“Cepet banget Bu.” komentarku pelan.

Ibu nasi uduk menoleh dari pesanan nasinya. “Bungkus nasinya, mas? Tentu saja. Kan Ibu sudah jualan kurang lebih dua puluh tahun,” jawabnya diakhiri dengan tawa kecil. “Dari mulai disini belum kena bis kota, sampai sekarang sudah ramai sekali.”

Aku manggut-manggut. “Ibu kenapa memutuskan untuk jualan nasi uduk Bu?” tanyaku iseng. Hitung-hitung mengajak mengobrol selagi Ibu nasi uduk masih mempersiapkan pesanan.

“Ini resep warisan Ibu saya. Resep paling enak. Jadi saya juga kepingin orang lain juga ikut merasakan enaknya nasi uduk Ibu saya.”sahutnya ringan.

“Apa nggak pernah kepikiran gitu, Bu, buat jualan yang lain?”

“Ya, pernah mas. Kadang bosan juga. Wong sudah 20 tahun, mosok ya ndak pernah bosan. Tapi bosan itu wajar. Libur aja dulu beberapa hari, nanti juga semangat lagi jualannya..” katanya sambal membungkus nasi—yang sepertinya tidak selesai-selesai. “Nah, ini sudah yang terakhir. Habis ini punya Masnya saya ambilkan ya.”

“Tapi Bu, kalau misalnya ya, kebalikan dari bosan. Kalau Ibu masih pengen melakukan hal itu, tapi tiba-tiba dipaksa untuk berhenti. Menurut Ibu gimana?”

Ibu nasi uduk berpikir sejenak. “Kalau dipaksa berhenti ya, mau bagaimana lagi.”

Aku memprotes. “Kok gitu Bu?” Bisa-bisanya Ibu nasi uduk sepasrah ini.

“Ya, bagaimana lagi? Awalnya ya harus usaha dulu. Kalau tetap nggak bisa ya, harus ikhlas. Legowo, Mas. Itu aja, biar hidup tenang.”

Aku mengerutkan kening tanda tidak paham.

“Gampangnya sih gini, Mas. Berarti itu sudah bukan rezeki kita lagi. Jalan rezeki kita disitu sudah habis. Nanti rezekinya datang lewat jalan yang lain, pintu yang lain.

Habis itu, kita usaha lagi, cari jalan lain, cari pintu lain.”

Aku merenungkan kata-kata Ibu didepanku ini sambil mengaduk-aduk nasi uduknya yang mengepulkan uap panas. “Tapi habis itu, saya jadi nggak tahu apa yang harus dilakukan, Bu.”

“Ya, itu tadi. Pelan-pelan usaha lagi. Pintu satu mungkin tertutup, tapi pintu lain pasti ada yang terbuka. Tinggal bagaimana kita bisa menemukan pintu itu.. bisa saja yang awalnya dikira bukan pintu, ternyata pintu lho.”

Begitu, ya. Mungkin memang jalan rezekinya sudah berhenti disini. “Oke deh Bu, kalau begitu. Omong-omong, nasi uduknya enak sekali Bu, berbeda dari biasanya.”

“Walah, Masnya ini bisa saja. Ambil gorengan satu Mas, gratis.” seloroh Ibu nasi uduk.

Sambil memakan nasi uduk, pelan-pelan aku menata apa yang harus aku lakukan. Pertama, belajar membuat CV. Merapikan semua pengalaman pekerjaan menjadi satu, lantas mencoba melamar kerja. Zaman susah ini, bagaimana aku bisa dapat dengan cepat? Batinku cemas. Sementara uang pesangon palingan hanya cukup untuk beberapa bulan. Belum uang pendaftaran taman kanak-kanak Gema bulan depan.. Aku menyentakkan kepala dengan cepat.

Lalu latihan interview, sepertinya ada banyak di YouTube. Seiring nasi uduk yang mulai habis, pikiranku juga mulai penuh dengan langkah dan kecemasan selanjutnya.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *