Namaku Alam (Review Buku)

“Jika kalian ingin memahami sejarah dengan gairah, kalian harus memulai dengan sejarah dirimu.” – hal. 16

Kalau kamu mengharapkan novel ini akan bercerita tentang pemberontakan yang membara, kamu bakal kecewa. Karena buku ini lebih merupakan cikal bakal mengapa seorang Alam bisa berbagi pusat cerita dalam novel “Pulang” dan menarik banyak perhatian pembaca (termasuk aku! 👀) 

Dalam buku ini, sejarah hidup Alam diceritakan dengan urut. Lahir pada 1965 sebagai seorang anak eks tahanan politik (tapol), hidup Alam dan keluarga tak lepas dari dikejar dan bersembunyi. Mulai dari dicaci keluarga sendiri, dihina lingkungan, sampai terpaksa putus cinta, selama 448 halaman pembaca akan dibawa untuk melihat Segara Alam tumbuh dewasa.

Ketika Laut dalam “Laut Bercerita” dan Dimas Suryo dalam “Pulang” digambarkan sebagai kakak yang mengayomi, Alam justru si bungsu yang moody, berapi-api, dan sulit mengendalikan emosi. Disamping sifat utama yang diceritakan jenius dan suka sastra, temperamen yang meledak-ledak menyebabkan Alam harus pindah sekolah dari SMA Negeri ke SMA Pagar Nusa, sekolah swasta progresif yang menjadi awal dari pembentukan sikap dan pola pemikirannya.

Dalam buku ini, diceritakan kedua kakak perempuan dan Ibunya adalah ketiga orang yang sangat mempengaruhi keputusan dalam hidupnya. Peran perempuan galak dan tukang suruh yang kelak akan mempengaruhi tokoh utama laki-laki sepertinya akan selalu ada dalam novel-novel Leila Chudori, tak terkecuali yang ini. Yang aku perhatikan, apakah setiap main character wanita di buku-bukunya harus selalu cewek tangguh, badass, bersama kita menggulingkan pemerintahan? We can also being pretty and feminine and still being clever to talk about political issues dsb 😌💅 Namun entah kenapa, penggambaran wanita dalam buku ini terkesan dipaksakan. Keberadaan para tokoh perempuan itu dilihat dari kacamata laki-laki, sayang sekali tidak mendapat porsi yang lebih. Feminisme yang digaungkan terasa dangkal, sebatas perempuan juga bisa melakukan hal yang sama dengan laki-laki, meski sebetulnya lebih dari itu.

Secara umum, dari sudut pandang seorang remaja, novel ini bisa menggambarkan bagaimana rasanya hidup di tahun 1965. Meskipun jika dibandingkan novel pendahulunya, peran tokoh utama sebagai orang yang menanggung beban dari 1965 rasanya agak kurang mendalam. Unsur sejarahnya sering disebutkan sebagai sebuah deskripsi sehingga terasa jauh, mungkin karena Alam berposisi sebagai pengamat kejadian yang dirasakan Bapak, Ibu, dan kakaknya Yu Kenanga. Barangkali karena peran Alam yang diceritakan jenius, tinggi besar, dan dominan, pembaca kadang lupa bahwa dibalik fisiknya, sosok Alam justru merupakan ‘korban’. 

Penyebutan photographic memory secara repetitif juga menurutku adalah hal yang kurang perlu. Okay, we get it, he’s genius, we ain’t forgot, you don’t have to repeat it every chapter. 😭 Dan munculnya nama tokoh-tokoh sastra secara sporadis juga terasa membingungkan. Tiba-tiba name-dropping Orwell dan dunia barunya dan diskursus Romeo Juliet membuat buku ini terasa acak. Seolah dengan name-dropping sastra dunia semacam Orwell dan Huxley atau tiba-tiba menyebutkan diskursus Romeo dan Juliet menjadikan kita kompleks dan kritis.  

Lalu, adanya sekolah sebergengsi itu? Untuk anak tapol? Menurutku, such a privilege untuk Alam dan Bimo, karena kebetulan Om Ajinya kenal dengan pemilik sekolahnya. Kalau tidak kenal, mereka mau bagaimana? Itulah, kalau kita mengerti, privilege juga bisa digunakan dengan baik.

Yang aku suka dari novel ini, sampulnya! Simbol burung nasar dengan latar merah pekat sangat mencerminkan warna seorang Alam. 🦅 Novel ini cukup memperkenalkan tragedi 1965, dan konflik-konflik di dalamnya akan sangat seru jika dibaca remaja. Mungkin kita harus membaca novel keduanya dulu agar Alam dapat menjadi tokoh utamanya, bukan hanya sebagai pencerita ulang kejadian di keluarganya. Barangkali kalau novel ini dibuat dari sudut pandang Ibu atau Yu Kenanga, novelnya akan jadi lebih menarik.

Judul: Namaku Alam
Penulis: Leila Chudori
Halaman: 448 halaman
Penerbit: Penerbit KPG

Leave a Reply