Pulang
.
“Pulang dulu, Bu Nyai, Pak Yai.” kataku sembari mencium tangan kedua pengganti orangtuaku selama di pesantren ini.
Keduanya teduh dengan senyuman. Sudut mata Pak Yai dan Ibu yang mengerut, namun tidak memudarkan kecantikan serta kegagahan mereka berdua. Takdzimku kepada mereka berdua yang mengasuhku, membimbingku, melindungiku bertahun-tahun terakhir ini. “Iya nduk, hati-hati di jalan..”
Aku menahan tanganku sebentar. “Bu.. saya boleh tidak, diam disini saja? Tidak usah pulang ke rumah?” Pertanyaan yang sama selalu kuajukan setiap waktunya liburan.
Tanganku diusap pelan sembari kemudian digenggam hangat. “Jangan lupa, nurut sama orang tua..” kata Bu Nyai pelan. “Ya, Nduk?” katanya penuh kasih sayang.
Aku mengangguk, tersenyum balik. Kuangkat tas ranselku, beserta dua kardus di kanan dan kiri, berisi barang-barang yang sudah tidak terpakai lagi di pondok.
Aku menatap lingkungan yang membesarkanku enam tahun terakhir. Pendopo hijau tua tempat tinggal Pak Yai dan Ibu, yang tiap pagi santri ndalemnya selalu membersihkan dengan saksama. Wangi makanan samar-samar dari dapur umum tempat kami mendapatkan makanan dua kali sehari. Masjid sederhana namun luas tempat kami tiap hari shalat, belajar, hingga tidur. Dari sudut jauh terdengar tabuhan rebana bersama para santri yang melantunkan shalawat burdah.
Enam tahun aku disini, aku hafal bagian jalan mana yang becek ketika hujan. Keran mana yang suka macet, mana yang tidak. Toilet mana yang mampet, mana yang lancar. Bagian lapangan mana yang paling teduh untuk berdiri ketika dihukum. Juga berbagai jalan tikus agar cepat sampai menuju ke kelas.
Kulayangkan pandanganku kepada teman-temanku yang dijemput oleh orangtuanya. Beberapa melambaikan tangan kepadaku sumringah, beberapa mengajakku mendekat. Aku membalas lambaian tangan mereka dengan semangat. Tentu saja, setelah 6 tahun berlalu, orangtua teman-temanku adalah orangtuaku juga. Kami saling berpelukan, berjanji akan bertemu selepas liburan.
Satu jam berlalu, lapangan depan akhirnya lenggang dari wali murid yang menjemput anak-anaknya. Kuangkat kardus di tangan kanan dan kiriku, lalu kakiku bergegas menyetop angkot yang berhenti.
Kuhempaskan beban dua kardus ke lantai angkot. “Pak, ke lapas ya!”
“Siap Neng!”
Leave a Reply