Museum Teman Baik (Review Buku)

“Bagi banyak dari kita, hubungan pertemanan terasa begitu penting di masa kanak-kanak hingga remaja. Bersama waktu, hidup menghadang kita dengan kerumitan-kerumitan baru, juga ragam hubungan pribadi yang dirasa lebih penting untuk dirawat–dengan keluarga, pasangan, atau anak-anak. Saat itu teman terdekat perlahan mundur, menjauh, menjadi orang yang sama sekali asing. Namun, bagi banyak yang lain, pertemanan justru menjadi tempatnya bersandar, yang menyelamatkan di saat-saat terapuhnya. Seperti hidup, pertemanan di usia dewasa pun memapar kita pada ragam dinamikanya. Ada yang brutal, ada yang menjaga dan melindungi. Ada yang keos bergejolak, ada yang tenang. Ada yang bertahan, ada yang berakhir terlalu cepat.

Melalui cerita, sepuluh penulis menjelajahi kompleksitas pertemanan usia dewasa ini–bagaimana ia bertahan atau terhempas saat diuji oleh ketegangan yang timbul karena perbedaan kelas, pilihan-pilihan, dan jalan hidup? Kami menjalinnya untuk teman-teman sekalian, dalam sebuah museum kecil yang menyimpan hal-hal yang pada sebuah masa begitu berharga, atau yang terus tumbuh hingga kini dan nanti.”

“Selamat datang di Museum Teman Baik.” adalah kalimat yang akan dibaca ketika membuka buku untuk pertama kali. Bagaikan seseorang yang menyambutmu hangat ketika masuk dalam sebuah museum, dalam hal ini, ketika akan membaca buku. Seperti namanya, buku ini layaknya museum dari sepuluh cerita tentang pertemanan di usia dewasa. Kisah pertemanan yang tidak semuanya manis, bahkan ada yang sedih, ada yang hilang sama sekali. Membacanya membuatku campur aduk dengan perasaan, hangat, haru, sedikit nostalgia.

Dewasa ini, pertemanan menjadi sesuatu yang berharga di tengah kesibukan bekerja (dan berkuliah, untukku) yang tiada hentinya. Ada yang bilang, pertemanan di usia dewasa sulit karena harus dijaga dengan betul-betul baik. Harus mengusahakan merawat komunikasi ditengah kehidupan yang kadang terlalu cepat, minimal menanyakan kabar once in a while. Seseorang lain bilang kalau mendapatkan teman di usia dewasa sulit, karena lingkungan yang semakin menyempit. Buku ini mewakili kisah asam manis pertemanan itu dengan hangat.

Dari kesepuluh cerpen itu, aku hampir suka semuanya! Membacanya terasa dekat, seperti kisahmu sendiri, atau kisah temanmu yang pernah mereka curhatkan kepadamu.

Aku terutama menyukai “Soak 33” karya Sri Izzati. Ceritanya mengisahkan pertemanan yang tidak lagi sesuai, padahal dulunya pernah sedekat nadi. “Pinggul bertemu pinggul, siku bertemu siku”. Nyatanya setelah beranjak dewasa, mereka ternyata tidak secocok itu. Barangkali, memang ada orang untuk setiap masa. Ketika masa dengan seseorang itu sudah habis, pertemanannya bubar, dan tidak apa-apa, mungkin waktunya memang dicukupkan sampai situ. (Membuatku sedih. Friendship breakups always make me sad.)

Lalu aku juga suka “Kau Beruntung Menikahi Sahabatku” karya Bageur Al Ikhsan. Membacanya membuatku teringat teman-temanku yang sudah membangun keluarganya sendiri, yang mana jika aku bisa menghadiri pernikahan mereka (yang sayangnya tidak, karena aku bekerja di luar pulau) aku akan berkata hal yang sama pada suami-suami dari temanku itu. Aku bahkan akan mengatakannya dengan huruf bold dan kapital. Kayak, IHHH KALIAN LHOO BERUNTUNG BANGETTT DAPET SAHABATKU yang cantik keibuan pintar sholihah rajin shalat baik banget itu!!! Dear teman-temanku yang sudah menikah, mungkin sekarang kita jarang main kayak dulu, tapi aku harap kalian selalu berbahagia dalam kehidupan kalian yang baru.

Cergam “Layar Terkenang” dari Rassi Narika juga membawa nuansa yang segar dalam buku ini. Cergamnya menceritakan sekelompok yang berteman di suatu kapal. Barangkali pertemanan memang seperti itu, satu waktu kita ada di kapal yang sama, menjadi penumpang yang sama, di lain waktu penumpangnya harus turun dan melanjutkan perjalanan ke tempat yang lain. Konsepnya dieksekusi dengan baik, gambarnya hangat dan menyenangkan.

Buku ini membuatku merenungkan ulang makna pertemanan di usia dewasa ini: kompleks. Making a friend in adult is hard, keeping them is harder. With so many things occurred, friend comes in layers, within our problems and everyday things. Adanya kesibukan dan urusan lain yang lebih penting membuat tidak semua pertemanan bisa bertahan. Banyak hal yang sudah tidak bersinggungan lagi, banyak topik yang sudah tidak sama, tidak semua pertemanan bisa dipaksakan dan diusahakan, dan tidak apa-apa.

Menamatkan “Museum Teman Baik” membuatku merasa sangat berterimakasih terhadap apapun bentuk pertemanan yang hadir di hidupku: pertemanan yang terjalin sejak mula, yang sudah tidak lagi berkabar karena beda sekolah, yang bertemu karena bersebelahan di konser, yang menghabiskan waktu via zoom meeting, yang jadi akrab karena satu perjalanan bersama, yang saling mendoakan meskipun cuma ngobrol setahun sekali, yang sudah nggak ada kesamaan tapi tetap berteman, yang sudah nggak ada kesamaan dan sudah nggak berteman, yang nggak pernah mengira bakal dekat tapi ternyata malah jadi sahabat. Pertemanan yang juga banyak bentuknya (sayangnya, semuanya disebut dengan ‘teman’ dalam bahasa Indonesia): colleagues, acquaintances, partners.

Semua pertemanan dalam hidupku, aku rayakan sesuai masanya.

⚠️ Beberapa kisah dalam buku ini mengandung tema sesama jenis dengan detail yang cukup jelas. Barangkali akan lebih nyaman untuk dibaca jika hal-hal yang dilakukan tidak dituliskan secara cukup eksplisit.

Judul: Museum Teman Baik
Penulis: Ruhaeni Intan, Kennial Laia, Bageur Al Ikhsan, Utiuts, Rassi Narika, Sri Izzati, Awi Chin, Reda Gaudiamo, Teguh Affandi, Cyntha Hariadi, Teddy W. Kusuma (Editor), Maesy Ang (Editor)
Tahun terbit: 2024
Penerbit: POST Press.

12 Comments

  • Sangat menarik konsep “Museum Teman Baik”! Melalui cerita-cerita yang disajikan, kita diajak untuk merenung lebih dalam tentang dinamika persahabatan. Ini bukan hanya sekadar bacaan, tapi juga sebuah perjalanan emosional yang mengajarkan kita arti penting persahabatan dalam berbagai fase kehidupan.

  • Kan jadi ikut penasaran nih sama bukunya…
    Memang ya dipikir lagi setelah hampir setengah abad usia ini, ternyata saya juga udah mengalami berbagai macam pertemanan karena berbagai hal… Sebagian besar teman itu sekarang hanya dalam kenangan

  • Buku ini bikin aku mikir ulang soal temen di usia dewasa—ada yang hilang, ada yang bertahan, semua ada masanya, dan itu nggak apa-apa. Rasanya campur aduk banget!

  • Buku yang cukup menarik dan sepertinya relate untuk orang-orang seusia yang memang lagi minim-minimnya pertemanan. Friendlist sosial media sih banyak, tapi yang intim emmang perlu maintenance yang lebih baik di usia dewasa seperti ini.
    Cuma ya itu ya, tentang sesama jenis sepertinya cukup annoying menurutku 😀

  • Wah, ada Sri Izzati! Aku tahu karyanya sejak zaman dia nulis KKPK waktu SD.
    Btw, begitulah pertemanan. Semakin usia beranjak tinggi, semakin kecil lingkaran pertemanan pribadi (bukan kenalan, relasi, atau rekan kerja).

  • Sepertinya bukunya menarik nih Kak, dari judulnya aja udah bikin Teddy ngelirik hehe. Lagi jarang baca buku fisik karena ke digital.

    Bicara soal teman, Teddy bukanlah orang yang memiliki banyak teman dekat. Teman aja atau kenalan sih bisa dikatakan cukup banyak. Cukup asik juga ya kalau ada dibuat museumnya.

    Terima kasih ya Kak.

  • Buku Museum Teman Baik memberikan perspektif yang mendalam tentang pentingnya hubungan antarmanusia dengan pendekatan yang hangat dan penuh empati. Narasi yang disajikan terasa mengalir dan mudah dipahami, membuat pembaca merenungkan arti persahabatan sejati dalam kehidupan sehari-hari.

Leave a Reply