Menjadi Seorang Mbak
Aku habis menyimak adikku yang terkecil mengaji Al-Qur’an.
Dan tiba-tiba, aku terharu. Buntelan bayi yang dulu cuma bisa oek-oek, sekarang sudah bisa mengaji! Anak bayi yang padaku dulu ia belajar mengeja kata, sekarang lancar membaca ayat-ayatNya. Anak kecil yang dulu cuma bisa a ba ta tsa, sekarang sudah bisa melantunkan kalimatNya. Rasanya terlalu cepat, terlalu tiba-tiba. Bahkan ibuku bilang, “Dedek pelafalannya lebih bagus daripada Mbak, lho!” Bhaaiq, didikan ibuk-ibuk fatayat di TPQ sebelah rumah memang tiada dua~
Tapi, melihat adik-adikmu melampauimu, itu perasaan yang menyenangkan sekali, sebenarnya.
Adik pertamamu hafal penduduk desa ketika kamu cuma kenal tetangga? Gapapaaa.
Adik keduamu lebih pintar pakai Picsart dibanding dirimu? Bagooos.
Adik ketigamu lebih lancar mengaji dibanding kamu? Lanjutkaaan.
Karena, seorang kakak, ya gitu. Senang kalau adik-adiknya bisa melampauinya. Walaupun kalau masalah tinggi badan, sebal juga sih. Masa setahun terakhir ini dibalap adikku dengan pesat sekali! Padahal kelas 3 SMP, aku paling tinggi diantara yang lain.
Yah, sejujurnya dengan rekorku sebagai tukang tidur nomor satu seantero rumah, gelar ‘kakak’ belum bisa kusandang secara profesional. Tugasku adalah tumbuh besar, agar bisa menjadi benteng pelindung dan pembawa lampu. Lalu nanti kalau mereka sudah besar, aku bisa menonton dari kejauhan, bagaimana mereka semakin tumbuh dan bertumbuh, jauh melampauiku.
Membayangkan mereka tumbuh dewasa, meniti jalan sendiri, sebenarnya rasanya khawatir sekali. Bagaimana kalau mereka jatuh? Salah belok? Atau yang lebih seram, tersesat? Kepalaku kadang cemas. Tapi kata Ibuku, “Semua anak punya jalannya sendiri-sendiri.”
Tetap dimataku, sampai kapanpun, adik-adikku tetap anak kecil. Karena ya, seorang kakak memang gitu. Menjadi kakak adalah proker seumur hidup~~
Leave a Reply