Menilik Cerita Kehidupan dalam Menua dengan Gembira – Andina Dwifatma [Book Review]

Blurb

Menua dengan Gembira merupakan buku kumpulan esai pertama Andina Dwifatma. Ia menyebut esai-esainya dalam buku ini sebagai kumpulan “rasan-rasan” tentang kehidupan warga pinggiran kota. 

Tinggal di pinggiran Jakarta selama lima belas tahun memaparkan Andina pada banyak persoalan. Mulai dari perkara-perkara yang terjadi di sekitar kompleks tempat tinggalnya, hingga masalah transportasi umum yang memble, dan perkara lain yang ditulisnya dengan gaya yang sederhana, tanpa banyak jargon ilmiah, serta dikisahkan dengan cara yang memikat.

Pengalaman membaca

Membaca 26 esai yang dikumpulkan kak Andina, rasanya akrab, seperti kata kak Andina dalam kata pengantar, ‘..sedang mengobrol dengan seorang kawan’. Esainya yang disebut sebagai ‘rasan-rasan tentang warga pinggiran Jakarta’ itu kadang dilandasi survei, kadang merupakan refleksi penulis. Yang manapun, esai-esai di buku ini banyak relatenya. 😆

Menawarkan satir yang ringan dan menggelitik, seperti dalam esai ‘Indahnya Grup Whatsapp Keluarga’, penulis menanggapi broadcast seram yang biasa dibagi di grup. Aku terpingkal ketika membaca kalimat, ‘Permisi, saya harus meneruskan pesan ini ke grup sebelah, demi menyelamatkan orang-orang yang saya kasihi.’ 😭😂

Diksi yang digunakan penulis sangat tepat sasaran. Selama membaca, aku selalu penasaran, punch line apalagi ya yang ada di esai berikutnya? 😂 Kalau boleh menyebutkan, esai favoritku adalah Perihal Nama, serta Di Pasar Malam.

Pembahasan dalam buku ini banyak menyebutkan teknologi dan media sosial, jadi menurutku bukunya akan sangat tepat kalau dibaca oleh generasi yang melek teknologi (ehem) si milenial dan gen Z. Esainya yang tak lebih dari 10 halaman (setara satu kali scroll layar) membuat buku ini bisa dibaca dari halaman manapun, bahkan pada sela-sela waktu mengantri dokter gigi.

Karena relate dengan banyak hal, aku jadi sadar kalau aku adalah bagian dari sebuah konstruksi sosial yang amat besar yang meski berbeda tempat, fenomena masyarakatnya hampir sama. Kejadian yang begini-begini saja dalam hidupku, ternyata dialami juga oleh orang lain. Setelah dituliskan jadi esai, sudut pandangku jadi lebih luas. Barangkali dengan melihat dari sisi lain, hal yang sederhana juga bisa memikat, seperti buku ini.

37 Comments

Leave a Reply