Opinion,  Personal Life

Finding Balance

Seperti titik ekuilibrium, hidup ini idealnya juga memerlukan titik tengah antara hal-hal yang kita lakukan. Dalam Islam, keseimbangan itu diwujudkan dalam konsep yang mengharuskan Habluminallah (bagaimana berhubungan dengan Sang Pencipta) dan Habluminannas (bagaimana berhubungan secara sosial) berjalan secara beriringan.

Dengan kegiatan kita sehari-hari yang sungguh banyak, belum lagi tugas-tugas mendadak yang kadang tidak masuk dalam rencana, membuat hari-hari kadang terasa berjalan tidak beraturan.

Pada akhirnya, bukannya yang kita cari adalah keseimbangan atau memiliki ‘hidup yang seimbang’?

Untuk sebuah kata yang mengandung unsur kualitatif, bagiku kata ini artinya sangat subjektif. Bagi sebagian orang, seimbang cukup dengan pergi bekerja 7-5 lalu pulang bisa bermain game, misalnya. Yang lain menganggap keseimbangan diukur dari jumlah makan dan porsi olahraga yang teratur. Tapi banyak sekali yang ingin kita lakukan dalam satu hari, katakanlah: bekerja, bermain dengan kucing, main game, memasak, jogging, dan masih harus menjaga kerapian rumah, cuci piring, cuci baju, dan lain-lain.

Jadi, apakah keseimbangan dalam hidup itu mustahil?

Aku pernah membaca kutipan seorang guru yoga, Sadhguru. Dia berkata, bahwa keseimbangan dalam hidup itu sebetulnya tidak ada. Begitulah hidup. Keseimbangan itu harus berada pada dirimu sendiri.

Aku yang membaca kata-kata itu tercenung. Selama ini aku banyak melihat teman-temanku yang sungguh seimbang dalam menjalani hidup. Bekerja, sambil menjadi penghafal Qur’an, sembari masih menjalani kegiatan ini-itu. Seperti tidak punya rasa capek. Lalu katanya, mengenai bagaimana cara membagi waktu, dia menjawab, sesimpel kita harus bertanggung jawab pada apa yang harus kita kerjakan. Aku langsung speechless. Keren bangeeet!

Maka jawabannya, lagi-lagi kembali ke time management!

Bagiku, time management masih jadi hal dasar yang harus dipelajari dari waktu-ke-waktu. Karena belum sempurna, dan sama-sama masih belajar, aku akan coba membagi apa yang sudah kuterapkan dalam belajar membagi waktu ini. Cara-cara ini berhasil setidaknya untuk aku sendiri, karena kalau enggak, nggak akan dishare disini πŸ˜€

1. Buat rencana

“Manusia berencana, Tuhan yang menentukan.” Punya rencana saja tetap Tuhan yang tentukan. Apalagi kalau kita tidak punya rencana, Tuhan mau tentukan apa untuk kita?

Sebagai seorang ENFP yang menyandarkan Feelings sebagai penentu banyak hal, aku butuh banget rencana harian agar semua kewajiban dapat lancar dilakukan. Salah-salah, moodku menyerang lalu keteteran semuanya.

Aku punya rencana tahunan, bulanan, mingguan, dan harian. Kedengarannya banyak banget ya πŸ˜‚ Tapi kalau di break down, rencana tahunan hanya dibuat setahun sekali. Rencana bulanan dibuat sebulan sekali, dan seterusnya.

Yang paling repot mungkin rencana harian, tapi itu hanya menyisihkan waktu maksimal 15 menit untuk mengetahui apa-apa yang akan dikerjakan besok dan menulisnya dalam to do list. Aku menulisnya sampai ke hal-hal paling kecil, misalnya sore nanti aku ingin beli es krim. Atau harus tidur jam 10 soalnya besok sahur.

Agar simpel, aku pakai notes biasa dalam HP. Dulu memang memakai jurnal harian yang ditulis tangan, tapi akhir-akhir ini mulai terasa kurang praktis. Jadi terpaksa dialihkan menggunakan HP untuk segala hal. πŸ˜‚

2. Buat skala prioritas

Setelah membuat rencana harian, aku biasa menulis to do list dalam urutan yang paling penting ke paling tidak penting. Biar kelihatan, kadang agenda terpenting aku bold dan atau kupakaikan huruf kapital.

Untuk mengetahui kadar kepentingan suatu kegiatan, bisa pakai cara ini.

3. Jangan lupa istirahat

Aku dulu nggak memasukkan jadwal istirahat. Aku lupa, kalau istirahat sama pentingnya dengan kegiatan yang lain. Akhirnya aku berakhir dengan scrolling sosial media sampai nggak kerasa udah 2 jam aja πŸ˜‚

Jadi aku sekarang memasukkan jadwal istirahat dalam jadwal harianku.

Work hard, play hard, istirahard ceunaah.

4. Teknik Pomodoro

Ini teknik belajar sih, tapi karena nyambung juga jadi kumasukkan kesini. Aku kira aku nggak mempan teknik-teknik belajar, tapi sama yang ini nyantol juga. Kira-kira seperti inilah.

Jujur, baru itu saja yang bisa kulakukan.

Masih ada yang jadi tugas buatku, yakni:

1. Put myself first

Semua upaya work life balance itu kan ujungnya kan untuk membuat diri ini jadi lebih bahagia. Jadi kalau habis membuat rencana, terus masih nggak merasa puas, ya harus dipertanyakan lagi, sebetulnya rancangan rencana ini buat siapa, sih?

2. Berani berkata NO

Untuk sesuatu diluar rencana. Sisi perempuan Jawa yang ga enakan melekat erat sebagai kepribadianku, aku jadi skuy skuy terus kalau diajak ngapain aja. Kadang bikin nggak balance, as if waktu mainku kebanyakan, atau waktu kerjaku jadi kebanyakan.

Ntar deh kalau aku bisa menemukan cara menolak orang, aku tulis lagi disini. Saat ini, masih jadi PR berat πŸ˜”

3. Stick to the Plan

Menuliskan rencana adalah satu hal. Melakukan rencana adalah hal lain.

Adaaa saja hal yang tidak terduga, baik itu eksternal maupun internal. Ada juga yang sifatnya penyakit, alias penyakit malas hahaha πŸ™ Alias melawan hawa nafsu untuk rebahan itu effortnya banyak banget ya. Apalagi ditambah hawa dingin dan hari libur. Duuh, semakin nggak kepegang πŸ˜”πŸ˜”

Dan banyak hal lain yang masih harus aku pelajari.

Diatas semuanya, kita harus ingat kalau kita masih belajar. Kalau sempurna dari awal, nggak seru dong, nanti belajar apa? (jiakh)

Nggak apa-apa mengakui kalau belum bisa sempurna, atau malah gagal. Yaaa, gak apa-apa. Namanya juga belajar. Asal jangan diulangin lagi aja. Kalau diulangin terus ya namanya nggak pernah belajar πŸ˜‚

Semoga bisa mencapai keseimbangan, apapun itu! Yuk, belajar bareng-barengg 😁πŸ’ͺ

36 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *