duka membersamaiku seperti sepotong jepit rambut yang abadi

aku pernah melawan kematian saat umurku 12. kematian menang, aku kalah. kematian membawa seseorang pergi. aku hidup, tapi rasanya aku juga ikut mati.

setelahnya, ia menjadi kenalan lama. kenalan yang pernah mampir sebentar, meninggalkan jejak dalam, lalu pergi. aku menatap kematian dengan cara yang jauh berbeda dibanding sebelumnya. dia ada dimanapun, kapanpun. di bawah pohon, di tiang listrik, di tempat tidurmu. aku bercengkrama dengannya berulang kali, berulang kali pula kematian mengambil orang-orang tersayangku pergi.

darinya, aku mendapat teman baru, yaitu duka. berbeda dengan kematian, baru akhir-akhir ini aku mulai menyapa duka sebagai teman. alih-alih bermusuhan, aku memutuskan memeluknya erat. duka menjelma menjadi sahabat akrab. setiap tangis yang ada, kusambut sebagai sebuah cinta, bukan kelemahan.

duka membersamaiku seperti sepotong jepit rambut yang abadi. sebanyak apapun aku bersolek, duka selalu membayangi wajah dan kehidupanku. aku takut kalau sebanyak apapun waktu, tetap tidak akan cukup untukku berduka. tapi, adakah waktu cukup untuk berduka?

setelah 11 tahun, berbicara tentang kematian menjadi sesuatu yang bisa kulakukan. tidak pernah mudah: besarnya duka masih sama, tapi dia telah menjadi perasaan yang familiar. tangisanku masih seperti sebelumnya, tapi kali ini, aku sudah tahu kapan akan menangis, sehingga aku dapat mengambil tisu duluan. as for me, it’s not only the symbol of grief anymore, not again, but the symbol of love, as grief formed from love.

kematian tidak akan pernah membuat kita terbiasa. hidup tanpa seseorang yang penting dalam hidupmu rasanya tidak mudah. setelah ditinggal pergi, aku mulai hidup sendiri dengan kaki yang hilang satu. selama ini aku berusaha terbang dengan sebelah kaki yang berusaha keras. coba tebak, aku berhasil hidup sampai umur 24!

siapa yang kaupilih seandainya kau ikut pemilu? apakah kausetuju dengan program IKN? bagaimana menurutmu soal harus pulang atau tidakkah penerima beasiswa LPDP itu?

begitu banyak hal yang ingin aku tanyakan. begitu banyak hal yang butuh jawaban. layaknya kecil dahulu, semua pertanyaanku pasti kutanyakan padamu. terima kasih karena tidak pernah lelah menjawab pertanyaanku.

aku takut mati. aku mengenal wajah kematian sejak umurku 12, tapi aku masih takut mati. tapi barangkali kematian tidak sepenuhnya buruk, karena ada seseorang yang kukasihi menungguku disitu.

tapi sembari menuju, giliranku mengisi hidup. yang kau tinggalkan menyisakan banyak celah, sehingga aku harus mengisi itu dengan sebaik-baiknya waktu yang aku punya. apa boleh jika tujuan akhirku sekarang hanyalah masuk surga dan kembali berkumpul bersama lagi?

Leave a Reply